Diusulkan ada pembatasan penggunaan gadget bagi siswa,
termasuk dalam konteks pemberian tugas sekolah.
Jakarta, BBC Nusantara – Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengusulkan pembatasan penggunaan media sosial (medsos) maupun gadget untuk anak. Usulan ini disampaikan kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Salah satu yang didorong adalah tidak lagi memberikan tugas lewat gadget.
Menteri PPPA, Arifah Fauzi, mengusulkan agar sekolah tak menugaskan anak-anak melalui gadget karena penugasan anak kini banyak disampaikan melalui gadget oleh guru kepada orangtua siswa.
“Kami sedang mengusulkan kepada Mendikdasmen, ‘Prof, boleh enggak kami dari kementerian mengusulkan untuk tidak menugaskan sekolah ke anak-anak tidak lagi melalui gadget, tetapi melalui manual saja’. Sekarang kan semua lewat WhatsApp,” ujarnya di Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (14/1/2025).
Kini, Kementerian PPPA sedang membahas usulan tersebut juga bersama pihak terkait selain Kemendikdasmen. Arifah pun mengaku menyetujui pembatasan media sosial atau penggunaan gadget tersebut.
Sebab, ada negara lain yang juga menerapkan pembatasan media sosial yang sama, salah satunya Australia. Namun, ia menekankan bahwa penerapan rencana pembatasan gadget atau media sosial itu harus dilakukan melalui kajian terlebih dahulu.
Bagaimana pembatasan media sosial terhadap anak di negara lain?
Belajar dari Prancis Hingga Australia
Berdasarkan penelusuran Tirto, sejumlah negara memang melakukan aturan pembatasan penggunaan media sosial pada anak. Prancis misalnya, pada 2023 lalu baru saja menyetujui undang-undang yang mengharuskan platform media sosial seperti TikTok untuk memverifikasi usia pengguna dan mendapatkan persetujuan orang tua bagi pengguna di bawah usia 15 tahun, sebagai upaya untuk melindungi anak-anak secara online.
Dilansir dari Le Monde FR, upaya ini merupakan bagian dari serangkaian langkah pemerintah baru-baru ini yang bertujuan mengurangi waktu layar anak-anak dan melindungi mereka dari perundungan siber dan ancaman online lainnya.
Berdasarkan data dari Asosiasi e-Enfance untuk Perlindungan Anak Daring Prancis, 82 persen anak di bawah umur di Prancis terpapar konten berbahaya secara daring, seperti penjualan narkoba, senjata, serta gambar dan video yang tidak pantas. Penggunaan media sosial juga memicu meningkatnya kasus perundungan verbal dan pengucilan sosial di sekolah.
Sementara negara eropa lain yaitu Inggris lewat Undang-Undang Keamanan Online (Online Safety Bill) direncanakan akan membuat aturan larangan pembuatan media sosial bagi anak-anak di bawah usia 13 tahun yang bertujuan untuk melindungi pengguna internet, termasuk anak-anak, dari konten berbahaya di platform media sosial.
Australia menjadi negara pertama yang memberlakukan larangan anak-anak dan remaja menggunakan media sosial seperti dikutip dari Antara. Lewat Undang-Undang yang disahkan oleh Senat Australia pada Kamis (28/11/2024) lalu, Pemerintah Australia resmi melarang siapapun yang berusia kurang dari 16 tahun menggunakan media sosial seperti TikTok, Instagram, Snapchat, Facebook, Reddit, dan X.
Larangan penggunaan medsos tersebut dianggap penting untuk melindungi kesehatan mental dan kemaslahatan anak-anak muda. Lewat UU baru ini, mereka juga akan menjatuhkan denda maksimal hingga 50 juta dolar Australia (Rp516 miliar) bagi perusahaan pelanggar teknologi seperti Facebook, Instagram, dan TikTok.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Dalam sebuah studi, United Nations Children’s Fund (UNICEF) menemukan bahwa 89 persen anak-anak di Indonesia menggunakan internet selama rata-rata 5,4 jam per hari. Waktu selama itu lebih banyak mereka habiskan untuk mengobrol dan berteman melalui media sosial (86,5 persen) dan mengakses konten video.
Namun, dampak buruk penggunaan internet di kalangan anak-anak yang diungkap dalam studi tersebut cukup mencengangkan. Sebanyak 48 persen anak pernah mengalami perundungan oleh anak lain; 50,3 persen anak terpapar konten bermuatan seksual melalui media sosial; dan 2 persen anak pernah diperlakukan atau diancam untuk melakukan kegiatan seksual. Parahnya di kalangan anak-anak dengan disabilitas, seluruh dampak tersebut lebih signifikan.
Menurut studi tersebut, 86,2 persen orang tua memberlakukan aturan atau pembatasan terkait penggunaan internet bagi anak mereka, dan 89,2 persen orang tua percaya bahwa ada bahaya di internet. Namun, sayangnya pemahaman orang tua mengenai aktivitas internet anak-anak masih rendah.
Sementara, data Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa penggunaan gawai di kalangan anak usia dini (di bawah usia 15 tahun) di Indonesia telah mencapai angka 36,99 persen.
Dalam konteks penggunaan gawai untuk belajar temuan survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2020 mengungkap lebih dari 71,3 persen anak usia sekolah memiliki gadget dan memainkannya dalam porsi yang cukup lama dalam sehari serta sebanyak 79 persen responden anak boleh memainkan gadget selain untuk belajar.
Penggunaan gadget, salah satunya artificial intelligence (AI) memang tak terhindarkan. Hal ini tergambarkan dari survei yang Tirto lakukan bersama Jakpat, pada 21-27 Mei 2024, terkait penggunaan AI untuk pengerjaan tugas sekolah dan kuliah.
Hasil survei menunjukkan, dari 1.501 responden pelajar berusia 15-21 tahun, di tingkat SMA dan mahasiswa, sebanyak 86,21 persen mengaku menggunakan bantuan AI, setidaknya sekali dalam sebulan, untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
Lalu, bagaimana kata ahli tentang penggunaan gadget untuk kegiatan belajar mengajar termasuk untuk pengerjaan tugas di sekolah?
