Psikolog Forensik menilai:
Kasus orang tua membunuh anak di Bekasi sebagai persoalan laten di kalangan para gelandangan.
Jakarta, BBC Nusantara – Entah apa yang ada di kepala pasangan suami-istri, Aidil Zacky R (19) dan Sinta Dewi (22), yang tega menganiaya anak kandung mereka sendiri, RMR (3 tahun 9 bulan), hingga tewas.
Penganiayaan maut ini terjadi lantaran pasutri ini kesal usai korban muntah di teras sebuah minimarket. Saat itu, korban tengah diajak mengemis oleh orang tuanya di kawasan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Metro, Kombes Wira Satya Triputra, mengatakan bahwa Sinta mengajak korban untuk mengemis di depan minimarket, Minggu (5/1/2025) pukul 19.00 WIB malam. Saat mengemis itu, korban muntah setelah minum susu. Saat hendak pulang, pegawai minimarket meminta Sinta membersihkan muntahan korban.
Setelah membersihkan muntahan dan kembali ke ruko kosong tempat mereka beristirahat, Sinta menasihati anaknya. Namun, Zacky menghirup lem aibon dan melakukan kekerasan kepada RMR.
Kemudian Sinta menampar di bagian mulut korban 2 kali, menampar korban 1 kali, mencubit paha 3 kali. Tersangka Zacky memukul di bagian dada 1 kali, menendang dada 1 kali, menendang bagian kepala 1 kali, membenturkan ke rolling door, dan menampar pipi korban 2 kali. Esoknya, korban diketahui tewas setelah ditinggal tidur pulas pasutri bejat ini.
Pasutri ini berusaha kabur, namun tertangkap polisi di Karawang. Jasad korban ditinggalkan begitu saja terbungkus sarung di dekat ruko mereka bermalam. Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat Pasal 76C Jo Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 170 ayat (2) ke 3e KUHP jo Pasal 351 ayat (3) KUHP.
Kejadian tragis yang menimpa korban RMR di Bekas hanyalah pucuk gunung es dari kasus pembunuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak sendiri, atau disebut filisida.
Kasus ini terus bermunculan dan sudah menjadi sorotan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak akhir tahun lalu sebab mengalami peningkatan. Menurut kajian KPAI, sejak setahun lalu, setidaknya setiap bulan ada 5-6 kasus filisida terjadi. Pada 2024, sedikitnya 60 kasus filisida terjadi di Indonesia dan tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Faktor Ekonomi
Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menyatakan, penelitian dan juga hasil monitoring KPAI, mayoritas kasus filisida disebabkan karena faktor ekonomi dan tekanan sosial. Karena dua faktor itu paling rentan menyulut emosi yang berimbas pelampiasan kemarahan orang tua terhadap anak.
Dalam kasus di Bekasi, Diyah menyoroti kerja pemerintah agar dapat membenahi persoalan pengemis dan gelandangan yang masih menjamur di kota-kota besar.
Pasalnya, tak sedikit dari mereka yang membawa anak-anak menemani mengemis di jalanan atau minimarket. Diyah menilai aktivitas ini rawan, karena anak yang masih kecil tidak bisa terpenuhi hak-hak dasarnya karena diajak mengemis.
“Sebab ini persoalan tersendiri, secara sosial ini termasuk tuna wisma, namun sebagian ada yang menjadikan gelandangan sebagai profesi,” kata Diyah, Rabu (15/1/2025).
Maka dari itu, KPAI menilai pemerintah seharusnya membenahi kasus filisida tidak hulunya semata, namun juga sejak di hilir. Di mana pencegahan seharusnya dilakukan terutama pada keluarga rentan. Mereka, kata Diyah, keluarga rentan ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Kondisi-kondisi tersebut dikhawatirkan membuat orang tua memberikan pengasuhan salah sehingga menjadikan anak sebagai pelampiasan kondisi.
Diyah menilai, pelaku filisida pantas dihukum maksimal. Dalam UU Perlindungan Anak, Pasal 20 disebutkan, keluarga terutama orang tua adalah pihak yang bertanggung jawab dalam melakukan perlindungan anak. Namun dalam kasus filisida, orang tua yang wajib melindungi anak malah menjadi pelaku pembunuhan.
“Sehingga dengan kasus ini orang tua harus dihukum berat dengan menambah 1/3 dari hukuman,” ucap Diyah.
Menurut catatan Pusdatin KPAI, kasus-kasus pembunuhan yang menimpa anak pada 2023 menunjukkan bahwa terlapor (pelaku) paling banyak adalah ayah kandung dengan 38 kasus. Setidaknya ada lima motif terjadinya filisida merujuk tulisan Resnick (2016).
Pertama, altruistic filicide, pembunuhan terhadap anak dengan motif mencegah penderitaan buah hati. Kedua, acute psychotic filicide, yaitu pembunuhan terhadap anak oleh orang tua yang menderita gangguan psikotik tanpa motif yang jelas dan disertai dengan gejala delusi atau halusinasi.
Ditambah, unwanted child filicide, pembunuhan terhadap anak yang tidak dikehendaki lahir. Keempat, child maltreatment filicide, pembunuhan anak yang terjadi karena penganiayaan secara fatal. Terakhir, spousal revenge filicide, yaitu pembunuhan terhadap anak sebagai bentuk balas dendam.
Konferensi pers pengungkapan kasus pembunuhan anak usia 3 tahun di ruko kosong daerah Bekasi, di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin (13/1/2025). FOTO/Ayu Mumpuni
Persoalan Laten Gelandangan
Psikolog forensik, Reza Indragiri, memandang kasus orang tua membunuh anak di Bekasi ini sebagai persoalan laten di kalangan para pengemis dan gelandangan. Reza menduga, anak yang diajak mengamen atau mengemis, kemungkinan sudah menerima tindakan kekerasan. Mirisnya, kata dia, tidak sedikit perlakuan ini dilakukan oleh orang tua anak itu sendiri.
Reza menjelaskan, anak-anak merupakan kelompok rentan yang paling rawan diviktimisasi. Sebab mereka belum mampu melawan secara fisik dan tak mungkin terang-terangan secara frontal. Secara psikis, kata Reza, anak-anak mudah diintimidasi, dimanipulasi, dikelabui, dan gampang diiming-imingi.
“Secara sosial juga, mereka mau mencari pertolongan kemana. Kelemahan multidimensi, fisik, psikis, dan sosial yang dimiliki oleh anak-anak itu yang menjadi penjelasan mengapa anak-anak termasuk paling rentan diviktimisasi,” kata Reza.
Maka, Reza menilai, anak-anak yang mengemis rawan menerima perlakuan jahat dari orang dewasa, termasuk orang tua mereka sendiri. Pada kasus filisida di Kabupaten Bekasi, Reza memandang RMR memiliki status berlapis-lapis sebagai korban. Yakni korban penelantaran, korban kekerasan, korban perbuatan salah, korban eksploitasi, dan korban pembunuhan.
Pertanyaannya, ucap Reza retoris, kenapa bisa-bisanya anak dengan status korban ganda semacam ini lolos dari radar pantauan negara?
“Tidak ada otoritas negara, representasi pemerintah yang memberikan perhatian, apalagi menyelamatkan kehidupan anak itu. Saya yakin, ini bukan satu-satunya anak yang hidup dalam kesulitan luar biasa seperti itu,” sambung dia. (Sumber: tirto.id/ys_soel)