Jakarta, BBC Nusantara – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) memberikan apresiasi tinggi kepada Polda Metro Jaya atas keberhasilan mereka dalam mengungkap kasus penjualan konten pornografi anak secara online.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, menyampaikan bahwa dalam pengungkapan ini, sebanyak 689 konten video dan gambar yang melibatkan anak-anak berhasil diamankan.
Nahar menegaskan bahwa langkah ini memiliki dampak signifikan dalam upaya melindungi anak-anak Indonesia dari ancaman kejahatan siber.
“Penemuan 689 konten porno anak ini menjadi langkah penting dalam mencegah penyebaran lebih luas dan mengurangi ancaman terhadap generasi muda Indonesia,” ujar Nahar, pada Sabtu (11/1/2025).
Nahar menekankan pentingnya peran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam penanganan kasus ini, yang menjadi landasan hukum yang kuat untuk menindak tegas pelaku penyebaran konten pornografi anak di dunia maya.
Nahar mengingatkan bahwa penyebaran konten pornografi anak dapat berdampak buruk bagi perkembangan anak, baik secara fisik maupun psikologis.
Ia lebih jauh mengungkapkan bahwa kita perlu waspada terhadap bahaya adiksi game online, pornografi, dan penyalahgunaan teknologi informasi lainnya yang dapat merusak otak anak-anak kita.
Hal ini menegaskan perlunya pengawasan yang lebih ketat serta edukasi kepada orang tua dan masyarakat untuk melindungi generasi muda dari ancaman yang dapat merusak masa depan mereka.
Oleh karena itu, Nahar menekankan pentingnya peran orang tua dalam melindungi anak-anak dari ancaman di dunia maya.
“Orang tua harus lebih perhatian, memberikan pengawasan yang ketat terhadap aktivitas online anak-anak,” tutur Nahar.
Lanjutnya, serta memberikan pujian yang positif, daripada anak-anak menerima perhatian dari pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti predator di media sosial.
“Lebih baik orang tua hadir memberikan perhatian langsung. Kita harus memastikan anak-anak aman dari bahaya ini karena dampaknya dapat berlangsung jangka panjang,” tegasnya.
Nahar menjelaskan bahwa tersangka dapat dikenai sanksi hukum berdasarkan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam undang-undang tersebut, disebutkan: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Sementara itu, Pasal 27 ayat (1) menjelaskan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.”
Ketentuan ini menunjukkan bahwa pelaku kejahatan siber yang mendistribusikan konten pornografi, terutama yang melibatkan anak, akan menghadapi ancaman hukuman berat sesuai hukum yang berlaku.
Nahar menyampaikan bahwa tersangka dalam kasus penjualan konten pornografi anak dapat dijerat dengan Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pasal ini melarang memproduksi, menyebarluaskan, atau memperjualbelikan pornografi, termasuk yang melibatkan anak-anak.
Ancaman hukumannya adalah penjara 6 bulan hingga 12 tahun serta denda Rp.250 juta hingga R.p6 miliar.
Nahar menegaskan bahwa kasus ini mengingatkan pentingnya peran orang tua, masyarakat, dan aparat hukum dalam melindungi anak-anak dari bahaya eksploitasi dan konten pornografi.
Kemen PPPA berkomitmen meningkatkan edukasi dan pelatihan pengasuhan serta mendorong masyarakat untuk segera melapor jika menemukan konten atau kasus serupa.
“Jika menemukan konten pornografi atau anak yang menjadi korban, kami minta masyarakat melapor ke polisi terdekat atau melalui layanan SAPA 129. Dengan kerja sama semua pihak, kita bisa menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak,” ujar Nahar.
Detail Kasus dan Tindakan Hukum
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Polisi Ade Ary Syam Indradi, menjelaskan bahwa tersangka berinisial RYS (29) menggunakan platform Telegram untuk menjual konten negatif, termasuk video melibatkan anak-anak di bawah umur.
Dirres Siber Polda Metro Jaya Kombes Pol Roberto GM Pasaribu ungkap pelaku sebarkan konten pornografi di platgorm Telegram, yang melibatkan anak-anak di bawah umur (Dok)
Tarif langganan yang ditawarkan sangat murah, mulai Rp.10.000 hingga Rp.15.000 untuk tiga bulan.
“Tindakan ini sangat memprihatinkan, terutama karena ada potensi anak-anak menjadi anggota grup tersebut. Penyidik terus mendalami kasus ini dan menelusuri keterlibatan pihak lainnya,” ujar Kombes Ade Ary.
Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, menegaskan pentingnya memblokir konten ilegal dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku.
Ia juga menyoroti pentingnya rehabilitasi bagi anak-anak korban eksploitasi.
“Rekam jejak digital ini tidak akan hilang dan bisa memengaruhi masa depan anak-anak. Kita juga perlu meningkatkan literasi digital hingga ke daerah terpencil untuk memastikan semua pihak memahami dan mendukung perlindungan anak,” jelas Ai Maryati.
Kasus ini menjadi pengingat nyata bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama, baik melalui edukasi, teknologi, maupun penegakan hukum yang tegas. (porosjakarta/ys_soel)