Jakarta, BBC Nusantara – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) berhasil menurunkan rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) menjadi 2,90% pada September 2024, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu di angka 3,07%.
Direktur Utama BRI, Sunarso, menyampaikan bahwa penurunan tingkat kelancaran debitur atau downgrade juga terlihat. Secara kuartalan, jumlah kredit yang dikategorikan “kurang lancar” dan “macet” berkurang sekitar Rp750 miliar.
Sunarso menjelaskan sejumlah strategi yang diambil BRI untuk memperbaiki kualitas aset dan menekan NPL.
“Langkah pertama ada di front end. Kami menekankan pada tim pemasaran untuk menumbuhkan kredit secara selektif dengan memperketat kriteria penerimaan risiko dan proses underwriting, sambil menjalankan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang lebih ketat,” ungkapnya dalam program Money Talks Power Lunch CNBC Indonesia, Selasa (5/11/2024).
Pada bagian mid end, Sunarso memaparkan bahwa BRI memperkuat monitoring terhadap portofolio kredit yang ada.
Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kesadaran risiko serta mengadakan stress testing secara berkala untuk memantau potensi gejolak portofolio.
Selanjutnya, untuk bagian back end atau pada kredit yang sudah tidak bisa diselamatkan, BRI melakukan restrukturisasi.
“Jika tetap jatuh, maka bagian back end akan melakukan restrukturisasi, bahkan restrukturisasi awal jika diperlukan,” jelas Sunarso.
Apabila kredit yang telah direstrukturisasi tetap tidak menunjukkan perbaikan, Sunarso menegaskan bahwa BRI akan mempercepat proses recovery.
“Ini sudah menjadi model bisnis di segmen mikro. Di front end, kami agresif dalam mencari kredit baru, di mid end, kami menjaga agar kredit tetap sehat, dan di back end, jika tidak bisa diperbaiki, akan dilakukan write off,” tambahnya.
Meskipun write off atau penghapusan buku dilakukan, Sunarso menekankan bahwa penagihan tetap berjalan, yang hasilnya menjadi pendapatan dari recovery.
“Pendapatan ini adalah hasil penarikan dana yang telah dicadangkan dan ditarik kembali. Model bisnis ini harus dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan,” tandas Sunarso. (yys/pj)